Makassar, Mapress.co.id – Untuk menjadi manusia yang lebih bernilai, lebih bermakna dan manusia bersantan, yakni manusia plus, maka perbanyak dan ciptakan kantong-kantong atau ruang-ruang pencerdasan melalui dialog-dialog dan diskusi-diskusi agar kamu tidak ketinggalan.
Hal itu diungkapkan M. Juniar Arge, Ketua Dewan Kesenian Makassar (DKM), Jum’at (31/10/2025).
Juniar Arge mengutip pesan ayahnya, Rahman Arge, sebelum Dialog Teater yang digelar DKM di sekretariat organisasi itu di kawasan Fort Rotterdam, Minggu (26/10/2025). Juniar mengakui bahwa dialog-dialog seperti ini selain mencerahkan juga memberi spirit dan energi bagi DKM.
Rahman Arge (seniman, budayawan, sastrawan, aktor, jurnalis, dan politisi), semasa hidupnya pernah jadi Ketua DKM.
Pria yang benama asli Abdul Rahman Gega itu, bersama Hamzah Daeng Mangemba, Ali Walangadi, Husni Djamaluddin, Arsal Alhabsyi, Aspar Paturusi, Andi Hizbuldin Patunru, Sakka Ali Jatimayu, M Saleh Malombassi, Djamaluddin Latief, dan Mattulada, tercatat sebagai pendiri DKM.
Sebelumnya, kalangan seniman di Makassar terkotak-kotak, dipengaruhi oleh suasana politik di masa itu.
Organisasi-organisasi seniman ada yang berada di bawah organisasi massa dan organisasi politik. Sehingga, tentu saja masing-masing punya ideologi berbeda, baik berhaluan nasionalis, beraliran agama, maupun kiri.
Satu peristiwa penting terjadi, kala sekira 30-an seniman dan budayawan duduk bersama dalam apa yang mereka namakan sebagai “Kamar Pertemuan Seniman”, tahun 1968. Momen bersejarah itulah kemudian yang jadi perekat terbentuknya DKM.
Lembaga otonom yang bertujuan membina kesenian di Sulawesi Selatan ini, secara resmi berdiri pada 25 Juli 1969. Sebagai organisasi profesi para seniman, DKM merupakan dewan kesenian tertua di Indonesia setelah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang berdiri sejak 10 November 1968.
Golden Era Teater di Makassar
DKM dalam sejarahnya punya peran besar mendinamisasi pertunjukan teater di Makassar, dan Sulawesi Selatan. Ditandai dengan Festival Teater I DKM, pada tahun 1971. Lalu pada tahun 1977, kembali digelar Festival Teater II DKM.
Di tahun 1979, namanya bukan lagi Festival Teater DKM. Namun disepakati dengan nama yang diperluas menjadi Festival Teater III se-Sulawesi Selatan. Selanjutnya, Festival Teater IV diadakan tahun 1982. Pada tahun 1987, diadakan Festival Teater V DKM.
Menariknya, pada Festival Teater se-Sulawesi Selatan, tahun 1998, penyelenggaraannya dilakukan secara kolabiratif. Ada empat lembaga yang terlibat, yakni Badan Koordinasi Keseniaan Nasional Indonesia (BKKNI), Dewan Keseniaan Sulawesi Selatan (DKSS), Dewan Kesenian Makassar (DKM), dan Taman Budaya Sulawesi Selatan.
DKM pernah jadi tuan rumah Pertemuan Sastrawan Nusantara dan Musyawarah Dewan Kesenian yang dihadiri K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ketika itu, Gus Dur masih merupakan Ketua DKJ. Ulama kharismatik dan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini nanti terpilih sebagai Presiden RI ke-4 periode (1999-2001).
DKM melahirkan dan membina Teater Makassar yang di masanya, pentas di berbagai panggung teater, termasuk pada skala nasional.
DKM menjadi rumah bagi para pelakon dan seniman pertunjukan berlatih, bereksperimen, mementas, berdiskusi, hingga menggelar festival demi festival.
Tampak bahwa ekosistem teater hidup pada era keemasannya. Semangat kompetisi berkarya berjalan berbarengan dengan kolaborasi antar-seniman.
Semuanya terpelihara baik. Paling tidak, itu yang tergambarkan dari ulasan panjang Fahmi Syariff dalam buku Perkembangan Kesenian di Sulawesi Selatan (Sebuah Catatan Seminar) yang diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (1999). Dari yang saya baca, tampak bahwa di masanya, DKM dan teater bagai dua sisi dari sekeping mata uang.
Selain Teater Makassar, dalam buku “Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti”, yang disunting Yudhistira Sukatanya dan Goenawan Monoharto (Yayasan Losari, 2000), diuraikan ada banyak kelompok teater pernah bertumbuh di Kota Anging Mammiri ini.(*)

















